Breaking News

Hubungan Bersejarah Indonesia dan Palestina


Oleh: Lukman Hakiem* 
Hari-hari terakhir ini, kawasan Masjid Aqsha di Palestina kembali memanas. Penyebabnya tidak lain kebrutalan dan kesewenang-wenangan Israel yang tetap ingin mengangkangi tanah air bangsa Palestina.

Umat Islam di seluruh penjuru dunia tergerak membela dan mendukung perjuangan rakyat Palestina, bukan saja karena di sana terletak Masjid Aqsha,  tetapi terlebih-lebih karena perbuatan Israel mengangkangi tanah Palestina bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Di Indonesia, soal Palestina telah menjadi perhatian umat Islam,  bahkan saat bangsa ini masih dijajah oleh kolonial Belanda, beberapa tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.


Palestina Mendukung Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Hubungan bangsa Indonesia dengan bangsa Palestina memang sudah terjalin jauh sebelum Indonesia merdeka.

Pada pertengahan tahun 1920-an, datang ke Mesir seorang pemuda bernama Abdul Kahar Mudzakkir (1907-1973). Selain berkuliah di Universitas Al-Azhar dan Universitas Darul Ulum, pemuda asal Kotagede, Yogyakarta itu aktif memperkenalkan Indonesia yang sedang berjuang untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda melalui tulisan-tulisannya di surat-surat kabar Mesir seperti Al-Ahram,  Al-Balagh, Al-Fatayat,  dan Al-Hayat.

Berkat aktivitasnya itu,  Mudzakkir populer di Mesir. Pada 1931, Mudzakkir diminta oleh Mufti Besar Palestina, Sayyid Amin Al-Husaini untuk mengikuti Muktamar Islam Internasional di Palestina sebagai wakil umat Islam Asia Tenggara, khususnya Indonesia.

Setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan pimpinan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) di tanah air, Mudzakkir berangkat ke Palestina. Mudzakkir hadir di Muktamar bukan saja sebagai peserta termuda,  tetapi juga berperan cukup signifikan, karena oleh Mufti Palestina, Mudzakkir diminta menjadi Sekretaris Muktamar, mendampingi Sayyid Amin Al-Husaini.

Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Mudzakkir untuk lebih mengenalkan Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim dan meminta dukungan Muktamar bagi perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.

Mengenai peristiwa ini, Tashadi, penulis biografi Mudzakkir, menulis: "Kongres Islam di Palestina pada tahun 1931, bagi bangsa Indonesia yang terjajah merupakan satu tonggak sejarah.... Pemuda Abdul Kahar Mudzakkir berani menentang seluruh struktur kolonial Belanda pada 1930, yakni ketika Perdana Menteri Belanda, Colyn,  mengatakan bahwa kekuasaan Belanda di Indonesia kokoh seperti gunung."

Peristiwa di tahun 1931 itu menjelaskan mengapa Mufti Sayyid Amin Al-Husaini memberikan dukungan ketika Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Janji Jepang itu disampaikan oleh Perdana Menteri Jepang, Koiso,  di depan Sidang Istimewa Teikoku Gikai pada 7 September 1944.

Segera sesudah mendengar janji PM Jepang,  Mufti Palestina mengirim telegram kepada PM Koiso yang antara lain menyampaikan penghargaan atas janji PM Jepang itu. Menurut Amin Al-Husaini, sekalian kaum Muslimin di dunia sungguh memperhatikan benar-benar nasib Indonesia.


Resolusi Congres Al-Islam Indonesia I

Pada 25-28 Dzulhijjah 1356 bertepatan dengan 26 Februari-1 Maret 1938, di Surabaya diselenggarakan Congres Al-Islam Indonesia ke-1.

Congres Al-Islam ini diikuti oleh 25 organisasi Islam baik tingkat pusat maupun tingkat cabang,  dan Komite Umat Islam dari berbagai daerah.

Wakil-wakil perhimpunan yang bermandat itu ialah: 
  1. Lajnah Tanfiziyah Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) di Jakarta,  
  2. Hoofdbestuur  Muhammadiyah di Yogyakarta, 
  3. Hoofdbestuur Nahdlatul Ulama di Surabaya, waktu pengambilan keputusan delegasi HBNU tidak hadir, 
  4. Hoofdbestuur Perserikatan Ulama di Majalengka, 
  5. Jong Islamieten Bond di Semarang, 
  6. Hoofdbestuur Ahmadiyah Lahore di Solo,  
  7. Hoofdbestuur Al-Islam di Solo, 
  8. Hoofdbestuur Perserikatan Penghulu dan Pegawainya (PPDP) di Solo, 
  9. Perhimpunan Putera Surabaya (Pesura).
  10. Al-Irsyad Surabaya,  
  11. Al-Irsyad Banyuwangi,  
  12. Partai Arab Indonesia (PAI) Cabang Surabaya, 
  13. Muro'atul Ikhwan Surabaya, 
  14. Kolliyah Islam Surabaya, 
  15. Al-Khairiyah, 
  16. Perhimpunan Pegawai Pos Telegram Telepon dan Radio Dients Rendahan (PTTR) Cabang Surabaya, 
  17. Komite Pembela Agama Islam Palembang, 
  18. Komite Persatuan Ummat Islam Banjarnegara, 
  19. Komite Ummat Islam Malang,  
  20. Komite Ummat Islam Purworejo. 
  21. Komite Ummat Islam Probolinggo,  
  22. Komite Ummat Islam Cibadak, 
  23. Komite Ummat Islam Banyuwangi, 
  24. Komite Ummat Islam Makassar, dan 
  25. Komite Ummat Islam Ketanggungan.

Congres Al-Islam  menyepakati sembilan keputusan yang meliputi soal-soal 
1. Perbaikan peraturan perkawinan menurut syara' agama Islam, 
2. Penghinaan pada Nabi Muhammad saw, Al-Quran, dan agama Islam, 
3. Hak waris Ummat Islam dan Raad Agama,  
4. Rencana perbaikan urusan hak waris dan Raad Agama, 
5. Daya upaya mempersatukan permulaan hari Puasa dan seterusnya, 
6. Perbaikan perjalanan haji,  
7. Bea pemotongan (slachtbelasting) pada waktu Hari Raya Haji (Qurban), 
8. Propaganda agama Islam pada kolonisten,  dan 
9. Palestina.


Tiga Butir Keputusan Soal Palestina
Mengenai masalah Palestina, Congres Al-Islam memutuskan:
1. Algemeene Actie
Congres menyerahkan pada sekretariat Majelis Islam 'Ala Indonesia (MIAI) supaya menyiarkan sebanyak-banyaknya maklumat kepada perhimpunan-perhimpunan Islam di seluruh Indonesia dengan pengharapan yang keras supaya nanti pada hari Jum'ah tanggal 14 Shafar 1357 atau 15 April 1938 mengadakan aksi bersama-sama untuk mengamalkan doa qunut baik di masjid-masjid maupun di surau-surau teruntuk bagi arwah umat Islam di Palestina yang telah menjadi korban, dan juga bagi keselamatan mereka yang sekarang sedang menghadapi rupa-rupa bahaya itu. 

2. Congres berseru kepada perhimpunan-perhimpunan dan juga pada umat Islam Indonesia untuk membantu uang dengan keikhlasan hati kepada saudara-saudara umat Islam di Palestina yang di dalam kesengsaraan itu dengan perantaraan Comite Palestina di Batavia Centrum.

3. Congres menyerahkan kepada Sekretariat MIAI untuk menyampaikan mosi kepada mandaten Comissie Volkenbond di Geneve yang maksudnya supaya hajat England hendak membagi-bagi Palestina menjadi tiga (Yahudi,  Arab, dan England) itu dapat dibatalkan.

Sikap NU Dipuji

Meskipun tidak ikut di dalam pengambilan keputusan pada Congres Al-Islam ke-1 di Surabaya, tidak berarti Nahdlatul Ulama duduk berpangku tangan menyaksikan penderitaan rakyat Palestina.
Di halaman awal Berita Nahdlatoel Oelama Nomor 21 Tahun ke-7, 6 Rejeb 1357/1 September 1938 terdapat tulisan berjudul "Falesthiena". Tulisan tanpa nama penulis itu patut diduga merupakan editorial atau tajuk rencana BNO nomor itu.

Setelah menguraikan riwayat perjuangan rakyat Palestina yang tanahnya dirampas oleh Inggris dan diberikan kepada Yahudi,  tulisan itu menegaskan bahwa kesengsaraan rakyat Palestina sungguh wajib mendapat perhatian umat Islam seluruh dunia. "Umat Islam wajib menolong saudaranya yang ditimpa malapetaka, bencana yang maha hebat itu...," tulis BNO.

Di bagian penutup tulisan,  BNO menjelaskan bahwa Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama bersedia akan menyampaikan derma siapapun,  kepada umat Islam Palestina, dan bersedia pula akan menguruskannya. Derma-derma itu,  tulis BNO boleh diperantarakan kepada pengurus cabang NO di mana-mana tempat untuk disampaikan kepada HBNO. BNO mengingatkan bahwa di Surabaya dan Betawi,  warga keturunan Arab sudah lama mendirikan Comite Penolong Kesengsaraan Palestina. 

"Bangsa kita harus menyusul," tutup BNO.

Tidak berhenti pada pengumpulan derma,  HBNO --seperti dicatat oleh H. Agus Salim (1884-1954) dalam tulisannya di Pandji Islam, 9 Januari 1939-- "menggiatkan usaha akan mendapatkan persatuan gerak bersama dari antara berbagai-bagai pergerakan Islam berkenaan dengan soal Palestina."

HBNO memandang soal Palestina sebagai satu perkara yang amat berat kepentingannya untuk alam Islam seluruhnya dan umat Islam segenapnya.

Pendirian dan gerak HBNO itu dipuji oleh Salim. "Dan sungguh benar sekali pendapatnya dan patut sekali perbuatannya itu, yang harus mendapat sepenuh-penuh persetujuan dari segala pihak dan golongan kaum Muslimin," tulis Salim.

Soal Nasionalisme

Agus Salim berpendapat soal Palestina bukan semata-mata soal agama,  melainkan soal politik. Soal Palestina berkait dengan permainan politik Inggris yang ingin mendapatkan dukungan pada Perang Dunia dengan menjanjikan tanah bangsa Palestina untuk kaum Yahudi diaspora.

Bangsa Palestina yang beragama Yahudi,  sejak masa pemerintahan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi menaklukkan Aursalaim di tahun 1187, sampai runtuhnya Kesultanan Turki pada 1918, tidak pernah terganggu keamanan hidupnya.

"Daripada bukti riwayat itu," kata Salim, "boleh kita tetapkan bahwa pertentangan Arab-Yahudi di Palestina bukanlah pertentangan karena agama." Menurut Salim, pertentangan itu ialah soal nasionalisme rakyat Palestina yang terbit karena perasaan kebangsaan yang dilukai dan hak-hak sebangsa yang dilanggar oleh kekuasaan Inggris.

Siapa saja yang mengaku dirinya nasionalis, tidak layak bungkam melihat penderitaan rakyat Palestina yang seolah tidak kunjung berakhir.


Tidak ada komentar